Penerbit
:
Red & White Publishing
Penulis
:
Dino Patti Djalal
Buku ini diterbitkan
pada tahun 2008, namun saya baru membacanya belum lama ini. Tapi saya rasa saya
perlu membagi review mengenai buku ini, karena buku ini cukup memberikan
inspirasi bagi diri saya sendiri. Mudah-mudahan juga bisa bermanfaat bagi
semuanya..
Buku ini
berisikan dinamika pengambilan keputusan dan tindakan Presiden Susilo Bambang
Yudoyono yang direkam dan dipotret oleh Dino Patti Djalal, staff khusus
Presiden Republik Indonesia, pada saat itu. Banyak pelajaran yang dapat dipetik
dari kisah-kisah yang ada, terutama oleh para generasi muda bangsa dan para
prajurit TNI.
Buku ini merupakan reposisi dari persepsi gaya kepemimpinan SBY yang sekarang ada di benak sebagian masyarakat. Sebuah gaya kepemimpinan demokratis dari seorang pemimpin yang terpilih secara demokratis dalam suatu situasi transisi yang sama sekali tidak mudah.
Buku ini merupakan reposisi dari persepsi gaya kepemimpinan SBY yang sekarang ada di benak sebagian masyarakat. Sebuah gaya kepemimpinan demokratis dari seorang pemimpin yang terpilih secara demokratis dalam suatu situasi transisi yang sama sekali tidak mudah.
"Ide untuk menulis buku
ini datang ketika suatu hari saya membersihkan meja kerja saya, dan menemukan
segumpulan nota-nota tulisan tangan SBY yang tersimpan di laci. Presiden SBY
sering menulis nota-nota ini dalam rapat Kabinet kepada menteri dan stafnya,
umumnya berisi instruksi, klarifikasi, atau meminta dicarikan informasi.
Ketika membenahi nota-nota ini, saya langsung sadar bahwa ini bukan arsip biasa: ini adalah sidik jari dari era politik penting yang kelak akan dipelajari di sekolah dan kampus. Dan sidik jari SBY ini ada dimana-mana: dalam berbagai keputusannya, pidatonya, gebrakannya, pikirannya, tindakannya, konflik batinnya-- semua ini adalah jejak-jejak sejarah yang masih segar di depan mata. Dari sinilah timbul gagasan untuk membuat catatan harian untuk merekam peristiwa-peristiwa di Istana.
Dalam menulis catatan harian ini, saya menjadi semakin terekspos terhadap satu tema dasar: kepemimpinan. Mata saya semakin terbuka bahwa sebagian besar masalah nasional kita sangat berkaitan erat dengan faktor kepemimpinan. Dengan kepemimpinan yang baik, maka krisis akan teratasi, konflik dapat diselesaikan, dan negara semakin maju. Sebaliknya, dengan kepemimpinan yang buruk, korupsi semakin parah, ekonomi jadi terpuruk dan reformasi akan mundur. Faktor kepemimpinan, karenanya, bisa menjadi kunci sukses atau penyebab kegagalan."
- Dr. Dino Patti Djalal.
Ketika membenahi nota-nota ini, saya langsung sadar bahwa ini bukan arsip biasa: ini adalah sidik jari dari era politik penting yang kelak akan dipelajari di sekolah dan kampus. Dan sidik jari SBY ini ada dimana-mana: dalam berbagai keputusannya, pidatonya, gebrakannya, pikirannya, tindakannya, konflik batinnya-- semua ini adalah jejak-jejak sejarah yang masih segar di depan mata. Dari sinilah timbul gagasan untuk membuat catatan harian untuk merekam peristiwa-peristiwa di Istana.
Dalam menulis catatan harian ini, saya menjadi semakin terekspos terhadap satu tema dasar: kepemimpinan. Mata saya semakin terbuka bahwa sebagian besar masalah nasional kita sangat berkaitan erat dengan faktor kepemimpinan. Dengan kepemimpinan yang baik, maka krisis akan teratasi, konflik dapat diselesaikan, dan negara semakin maju. Sebaliknya, dengan kepemimpinan yang buruk, korupsi semakin parah, ekonomi jadi terpuruk dan reformasi akan mundur. Faktor kepemimpinan, karenanya, bisa menjadi kunci sukses atau penyebab kegagalan."
- Dr. Dino Patti Djalal.
Kurang
lebih, seperti itulah sedikit penggalan dari isi buku ini. Kepemimpinan
Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono atau SBY dalam memimpin Indonesia dalam beberapa
tahun dituangkan dalam sebuah buku berjudul “Harus Bisa! Seni Memimpin Ala SBY”
oleh seorang penulis yang juga pembantu presiden pada masanya itu, yang dikemas secara memikat dan berhasil mencuri perhatian
para pecinta buku.
Buku ini juga
dilengkapi dengan paparan kata-kata mutiara dan kata bijak dari banyak tokoh
penting di dunia, seperti pada bab 21 yang mencantumkan kata bijak dari Mahatma
Gandhi dan masih banyak lainnya.
Dengan membaca
buku ini, pembaca diajak untuk dapat mengenal pemimpinnya lebih jauh dari sisi
positifnya dan dapat mengambil hal-hal yang dapat bermanfaat serta mampu
memiliki jiwa kepemimpinan yang bisa dicontoh.
Ada banyak hal menarik dari sosok presiden ke-6 Republik Indonesia ini yang
sebelumnya mungkin tidak diketahui publik. Secara sistematis, dalam buku ini penulis
membagi pengalaman dan pelajarannya dari sosok SBY dalam enam bagian besar, yang
masing-masing berisi berbagai cerita yang sarat dengan pesan positif. Berikut enam
bagian tersebut:
- ‘Memimpin dalam Krisis’
- ‘Memimpin dalam Perubahan’
- ‘Memimpin Rakyat dan Menghadapi Tantangan’
- ‘Memimpin Tim dan Membuat Keputusan’
- ‘Memimpin di Pentas Dunia’
- ‘Memimpin Diri Sendiri’
Dalam bagian ‘Memimpin dalam Krisis’,
penulis memaparkan pengalaman dan pengamatannya atas respon SBY yang cepat
tanggap dan real time dalam menghadapi berbagai permasalahan yang
bersifat kritis. SBY juga mampu membaca bencana Tsunami di Aceh sebagai peluang
perdamaian dengan GAM.
Pada bagian ‘Memimpin dalam
Perubahan’, SBY juga telah melakukan beberapa dobrakan dalam rangka
mengefisienkan birokrasi Indonesia yang terkenal sangat rumit dan lama. SBY
juga senantiasa berpikiran positif, lebih memilih untuk merangkul seluruh
lawan-lawan politiknya, taat sistem, dan terutama mampu mencari solusi masalah
ketimbang beretorika.
Bagian ‘Memimpin Rakyat dan
Menghadapi Tantangan’ memuat karakter SBY yang senang terjun ke daerah
untuk mendengarkan keluhan rakyat secara langusng (common touch). Di
samping itu, SBY tidak pernah tergiur oleh KKN dan ingin agar kantor presiden
hemat, profesional, transparan, dan bersih (halaman 163).
Dalam ‘Memimpin Tim dan Membuat
Keputusan’, penulis memaparkan cara dan gaya kepemimpinan SBY yang memilih
sendiri setiap anggota timnya dan peka terhadap timing. Sebagai contoh, SBY lebih memilih untuk kembali ke Jakarta
secepatnya ketika mendengar kabar kesehatan Soeharto yang makin memburuk
daripada menyanggupi tawaran menyanyi dari Perdana Menteri Badawi. SBY juga
memberikan contoh bagaimana seharusnya seorang pemimpin yang baik bertindak,
seperti teliti terhadap detil, obyektif, dan mampu mengambil keputusan di mana
saja, kapan saja (a day of decisions).
Bagian ‘Memimpin di Pentas Dunia’
menjadi bagian yang sangat menarik karena penulis mampu memotret gaya
kepemimpinan SBY yang bersifat nasionalis sekaligus internasionalis, dilengkapi
dengan berbagai contoh yang menarik.
Pada bagian terakhir yang berjudul ‘Memimpin
Diri Sendiri’, SBY memperlihatkan sosok pemimpin negara yang sangat
berintegritas mulai dari hal-hal kecil seperti menghormati waktu. Penulis
bahkan menulis bahwa jika kita dijadwalkan bertemu presiden, sebaiknya kita
tiba 30 menit sebelumnya karena beliau sudah akan siap di kantornya 15 menit
sebelumnya. Waktu ini beliau gunakan untuk melihat CV tamu dan mendapat paparan
mengenai isu yang akan dibahas dalam pertemuan (halaman 384).
Buku ini kiranya dapat menjadi sebuah referensi yang sangat positif bagi
siapapun apalagi bagi para calon pemimpin. Buku ini menjadi semakin menarik
bukan saja karena ditulis dari sudut pandang ‘orang dalam’ presiden. Penulis
juga mampu memformulasi catatan hariannya menjadi fragmen-fragmen kisah menarik
yang memungkinkan pembaca menarik sendiri pesan-pesan dari berbagai kisah
kepemimpinan ala SBY.
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa buku ini berhasil membawa
nuansa dan wawasan baru dari buku-buku lain bertema serupa karena yang disorot
adalah sosok langsung seorang presiden. Buku ini bukanlah buku teori tentang
kepemimpinan melainkan buku yang secara langsung menggambarkan kepemimpinan SBY
sebagai seorang presiden, sekaligus sebagai seorang manusia. Untuk itu, buku
ini hendaknya dilihat secara objektif
sebagai salah satu buku kepemimpinan yang menggemakan pesan-pesan positif bagi
kemajuan Negara Indonesia.